AWWALAN

Selasa, 17 Desember 2013

MENGENANG SAHABAT PONDOK

Wak Turi, begitu akrab kami memanggilnya. Teman kami yang penuh prinsip bagaikan tongkat, berdiri tegak membantu sesama untuk berdiri dengan penuh semangat. Dulu, Wak Turi bisa dibilang nakal sebelum mondok di Kajen. Pilihan mondok di Kajen adalah pilihan ibunda Wak Turi yang satu tempo ketika bermunajat kepada Tuhan, dating sebuah bisikan, “nek kepengen anakmu mari, dusi banyu Kajen” (Kalau ingin anakmu sembuh dari kenakalannya, mandikanlah air Kajen).

Di penghujung Tahun 2008 masa pengabdian kepada Pesantren tercinta PMH Pusat, sahaya mengajukan Wak Turi dan Kang Eri (Kapolda) kepada Abah sebagai pilihan untuk menjadi calon Ketua PMH Pusat Periode 2009. Dan alhamdulillah, Wak Turi-lah yang mendapat suara terbanyak sehingga lebih berhak untuk mengemban amanah dari Abah. Selama kepemimpinan Wak Turi sebagai Ketua PMH Pusat, seiring dengan bangunan PMH Pusat yang baru, banyak program-program maupun kebijakan-kebijakan baru yang benar-benar melahirkan banyak kebajikan bagi segenap warga santri PMH Pusat. Wak Turi benar-benar mengemban amanah ini dengan sepenuh hati, segenap jiwa dan raga. Wak Turi benar-benar menjadi pemimpin yang dalam bahasa Bung Karno “seorang yang melampaui dirinya sendiri” karena ia lebih mengutamakan kepentingan bersama melampaui dan mengalahkan kepentingannya sendiri. Seorang pemimpin yang merakyat karena antara dirinya dan rakyatnya tiada sekat. Seorang pemimpin yang menjadi suri tauladan, karena betapa ia selalu mengajarkan bahwa apapun jika diniati khidmah kepada Kyai pasti akan mendatangkan keberkahan. Ibarat Imam dalam Shalat, Wak Turi adalah Imam yang pas bagi warga PMH Pusat. Bagaimana tidak? Shalatnya tidak terlalu cepat hingga yang belum bisa shalat tidak terlambat, atau tidak terlalu lambat hingga yang sudah bisa shalat pun tidak menunggu dengan berat. Pas! Ia sering menjuluki dirinya dengan “Wisnu” yang merupakan dewa pemelihara dan pelindung alam semesta, dengan harapan bahwa ia pun ingin menjadi pemelihara dan pelindung alam semesta dengan menjadi sayyidin panatagama khalifatullah ing tanah juwana.

Di penghujung Tahun 2009, Wak Turi bercerita bahwa ia bermimpi mengimami Kang Ridho. Dan ternyata mimpi itu mengejawentah dalam dunia nyata. Ya, Wak Turi terpilih untuk yang kedua kalinya menjadi Ketua PMH Pusat Periode 2010, dan Kang Muhammad Ridhollah Mu’thi sebagai wakilnya. Dalam catatan sejarah, baru kali ini ada Ketua PMH Pusat yang mengemban amanah selama dua tahun berturut-turut. Dan banyak sekali yang dipersembahkan Wak Turi untuk PMH Pusat. Apalagi ketika datang even tahunan yakni peringatan maulidiyyah yang diselenggarakan oleh empat pesantren komplek pol-garut, PMH Pusat, PMH Putra, PMH al-Kautsar, dan PMH Timur. Wak Turi begitu antusias nguri-nguri tradisi maulidan peringatan kelahiran Baginda Rasul SAW yang kelahirannya ditunggu-tunggu dengan gembar-gembira oleh seluruh alam. Ia selalu mengajak seluruh warga PMH Pusat untuk nderek hurmat Kanjeng Nabi dengan mengikuti berbagai acara yang diselenggarakan oleh Panitia Maulidiyyah (Pamal) termasuk lomba.

Di penghujung tahun 2010, malam nishfu sya’ban, malam mustajabah dimana doa-doa yang dilayangkan akan mudah terkabulkan, malam keramat dimana buku amal setahun akan ditutup dan diganti dengan lembaran-lembaran baru, semalaman ia tidak tidur. Entah doa apa saja yang ia panjatkan, tetapi yang jelas ia masih ingin selalu bersama Abah dan mengabdi kepada Abah. Esok harinya, ia ditimbali. Dan, di hari-hari kemudian ia pindah ke kamar sebelah ndalem Abah belakang toko. Alhamdulillah, Wak Turi masih bisa meneruskan pengabdiannya kepada Abah. Pekerjaan apapun ia lakukan selama ia mampu dan kuat, dengan tekad yang bulat bahwa khidmah kepada Kyai selamanya akan mendatangkan berkah meskipun kita tidak bisa membaca kitab atau tidak faham mendalam tentang agama. Baginya, mengaji kepada Kyai bukan sekedar membuka kitab menyimak penjelasan Kyai sembari memaknai, lebih dari itu! Bahwa tindak lampah dan ahwal Kyai adalah kitab yang selalu terbuka untuk dibaca selama kita mau membaca, karena tidak ada Kyai sejati yang tidak mengamalkan ilmunya dalam kehidupannya. Mengaji ya ini, ngaji laku, ngaji ahwal, ngaji balung. Disebut ngaji balung karena ngaji ini adalah ngaji yang paling dalam dan ngaji yang paling inti, karena inilah kerangka dasar! Apalah guna daging tanpa balung? Jadi, meskipun secara dhohir Wak Turi tidak banyak mengikuti pengajian-pengajian kitab, tapi secara batin diam-diam ia mengamati secara mendalam dan mengamalkan apa yang nampak dari Abah setiap kali beliau menjejak, apa yang terlihat setiap kali beliau memberi isyarat. Bukankah العالم يعلم بالإشارة? Tiada yang mampu memahami isyarat kecuali orang-orang yang tahu dan mengerti. Barangkali inilah tafsir mimpi Wak Turi yang tempo hari pernah ia ceritakan kepada saya. Dalam mimpinya, ia melihat orang-orang berlari-lari kesana-kemari berebut tongkat Abah, kemudian ia ditimbali dan dingendikani Abah: “Wis njarke wae, iko mau palsu, iki lho seng asli gowonen.” (Sudah, biarkan saja. Itu tadi yang palsu. Ini yang asli bawalah).

Sewaktu Kyai Mahfudz Siddiq Margoyoso wafat (1 Muharram 1435 H), Gus Aam putera beliau meminta saya mengajak tiga orang untuk bersama-sama khataman al-Quran sampai tujuh hari-nya wafat beliau. Saya, Wak Turi, Kak Irsyad, dan Kang Mahfudz. Wak Turi nampaknya tidak enak badan namun ia selalu merelakan dirinya dan memaksakan untuk hurmat guru-guru dan khidmah para Kyai. Kebiasaanya adalah menyembunyikan rasa sakit meskipun tak tertahankan agar orang lain tak merasa terbebani atau merasa kasihan. Sampai terdengar kabar bahwa sakitnya cukup serius, dan Wak Turi dilarikan ke RSU Soewondo. Ketika sahabat-sahabat menjenguk, ia sering melempar senyum bahagia, dan kelihatannya memang menyembunyikan sesuatu yang tidak enak untuk diceritakan. Katanya: “Ora opo-opo, yo rodo gak penak wae, Alhamdulillah iseh diparingi loro ben ora koyo fir’aun seng gak tahu loro” (Tidak apa-apa, ya cuma tidak enak badan, biar tidak seperti fir’aun yang tak pernah sakit).

Kang Ridho tiba-tiba sms sahaya katanya ia bermimimpi bertemu sahaya. Kami berdua dalam mimpi tersebut terlihat sedih menatap langit, ada lembaran-lembaran putih berterbangan ke langit. Kang Ridho bertanya kepada sahaya ada apakah, dan sahaya menjawab namun tak begitu jelas hingga tak terdengar olehnya.
Sore itu, sahaya, Kang Ishom, Kak Irsyad tengah bersantai-sore (12 Shafar 1435 H). tiba-tiba Lek Nur Ahyani menelfon, “Wak Turi ninggal”. Ya Allaaah Innaaa lillaaaah Wa Innaa Ilayhi Raaaji’uuuuun… inikah tafsir mimpi Kang Ridho bahwa kami terlihat sedih menatap langit, ada lembaran-lembaran putih berterbangan ke langit? Sebegitu cepatkah? Rasanya baru kemarin sahaya tanyai Wak Turi katanya sudah mendingan dan sudah pulang ke rumah, sebegitu cepatkah? Allaaahhh… Wak Turi… Selamat jalan Wak Turi. Kami bersaksi bahwa engkau orang baik, dan surga bagimu adalah balasan yang paling laik.

akan datang hari, mulut dikunci, kata tak ada lagi. akan tiba masa, tak ada suara, dari mulut kita. berkata tangan kita tentang apa yang dilakukannya. berkata kaki kita kemana saja ia melangkahnya. Ya Allaaaah... Innalillaaaah... Wa innaaa ilayhi raaji'uuun...

 اللهمّ اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه، اللهمّ اجعل الجنة مثواه، اللهمّ أكرم نزله ووسع مدخله ونور قبره

Oleh : Sahal Mahfudz

2 komentar: