AWWALAN

Selasa, 18 September 2012

KH. Nafi' Abdullah Salam: Mengapa Harus Gegeran?

Mengapa perpecahan makin seru dan menjadi-jadi? Sebab sekarang ini setiap kali orang berbeda pendapat itu tidak mengikuti cara ulama’ dulu. Dulu beliau-beliau kalau beda pendapat tidak mencari bolo (pengikut--Jw), ditandangi (dihadapi--Jw) sendiri dan tidak mencari pengikut apalagi dengan cara-cara memfitnah. Imam madzahib dan para kyai beda pendapat tapi dengan tetap menghormat. Pada zaman dahulu banyak gegeran, tapi ‘bar yo bar’ (tidak ada dendam--Jw), tidak mencari teman untuk berseteru. Lha sekarang, gegeran selalu diikuti dengan mencari pengikut dan pendukung, mengajari memfitnah maka tidak heran kalau gegeran itu semakin dalam dan ruwet.

Ulama’-ulama’ terdahulu bisa menjadi baik karena berpegang teguh dan berkeinginan untuk menjadi muttaqin yang mukmin beneran. Ulama’-ulama’ ini berpegang pada firman Allah (QS. Ali-Imron: 134-135)

وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُونَ فِى السراء وَ الضَّراء وَالكَاظِمِيْنَ الغَيظَ وَالعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ واللهُ يُحِبُّ المُحْسِنِيَن وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوا فَاخِشَةً أَو ظَلَمُوا ذَكَرُوااللهَ فَاسْتَغْفَرُوالِذِنُوبِهِمٍ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللهُ وَلَمْ يَصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهَمُ يَعْلَمُونَ

Mereka adalah orang-orang yang membelanjakan hartanya, baik dalam keadaan cukup, kurang, mampu maupun tidak mampu, demi mendapatkan perkenan Allah. Kemudian, disamping itu, juga menahan marah sehingga tidak sampai membalas terutama kepada orang yang tidak berbuat baik kepada mereka, bahkan memaafkannya. Mereka itu termasuk orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah akan selalu memberi pahala dan perkenan-Nya kepada orang-orang seperti ini.

Juga apabila orang-orang yang--apabila berbuat dosa, besar atau kecil--segera mengingat Allah dengan keagungan, siksa, pahala, kasih sayang, dan murka, kemudian menyesal dan memohon ampunan-Nya. Hanya Allah-lah memang, yang dapat mengampuni dosa. Disamping, setelah itu semua, mereka juga tidak terus melakukan dosa dan perbuatan yang mereka ketahui tidak baik.

Sebenar-benar mukmin adalah sebagaimana firman Allah (QS. Al-Anfal: 2-4)إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ الَّذِيْنَ يُقِيْمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ألَئِكَ هُمُ المُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيْمٌ

Sesungguhnya hati orang-orang yang benar-benar beriman selalu dipenuhi rasa takut dan tunduk kepada Allah. Apabila disebut asma Allah hati mereka bergetar dan diliputi rasa takut (Haybah). Semakin mereka mendengar ayat Al-Qur’an dibacakan, semakin kokoh keimanan mereka dan semakin dalam rasa tunduk serta semakin bertambah pengetahuan mereka kepada Allah. Sehingga, pada akhirnya mereka tidak menyandarkan diri selain kepada Allah yang menciptakan, melindungi, dan memelihara mereka. Sesungguhnya oranng-orang yang benar-benar beriman adalah mereka yang mengerjakan sholat berikut rukun-rukunnya secara sempurna dengan penuh rasa khusyu' dan ketundukan diri agar mereka selalu dalam keterkaitan dengan Tuhan, menginfakkan sejumlah harta yang diberikan Allah SWT kepada mereka untuk kepentingan jihad, kebaikan-kebaikan sosial dan bagi kepentingan kaum lemah.

Mereka yang memiliki sifat-sifat yang seperti tersebut diatas itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka akan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah. Dia memberikan perkenan-Nya kepada mereka, mengampuni kesalahan, memberikan rizki yang baik kepada mereka di dunia dan kehidupan yang membahagiakan di akhirat (QS.Al-Hujurat: 12)

يَاأَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَسُوا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ أَنْ تَأَكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُموهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah prasangka buruk terhadap orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa yang harus dihukum. Janganlah kalian menyelidiki dan mencari-cari aib dan cela orang-orang muslim, dan jangan pula kalian saling menggunjing yang lain. Apakah salah seorang d iantara kalian senang memakan bangkai saudaranya yang mati yang kalian sendiri sebenarnya merasa jijik? Maka bencilah perbuatan menggunjing, karena perbuatan menggunjing itu bagaikan memakan bangkai saudara sendiri. Peliharalah diri kalian dari azab Allah dengan menaati semua perintah dan menjahui segala larangan. Sesungguhnya Allah Maha Agung dalam menerima semua pertobatan orang-orang yang mau bertobat, lagi Maha Luas kasih sayang-Nya terhadap alam semesta.
 Dengan demikian penyebaran fitnah menjadi berkurang.

Sebenarnya kalau mau gampang-gampangan yang disebut dengan muttaqin dan mu’min beneran yaitu orang-orang yang memenuhi kriteria tadi, tua ora gelonan (dewasa dan tidak mudah sakit hati). Dalam situasi apapun tidak meiliki rasa sakit hati sebab pada hakekatnya semua itu tergantung pada keinginan
من يحرك.

Allah Subhanahu wa ta’ala adalah penguasa alam seisinya.

Transkrip oleh KH. Muadz Thohir dari perbincangan Senin, (2006/04/03) pukul 10.00 WIB di Perguruan Islam Matholiul Falah.

KH AHMAD MUTAMAKIN (Mbah mutamakin) kajen

Oleh Jamal Ma'mur Asmani

Wali Khariqul Adah Yang Disegani
SETIAP - 10 Muharam ,(Selasa, 2 Maret 2004), di desa kecil di pantai utara Jawa Desa Kajen, Pati, lautan manusia berdatangan memperingati haul KH Ahmad Mutamakkin (AM). Sosok kiai yang lahir di Tuban ini lebih memilih Kajen, sebuah desa kecil di pantai utara Jawa, untuk menyebarkan gagasan Islamnya.

AM adalah seorang neosufis yang hidup pada tahun 1645 - 1740. Satu garis dengan cerita Jawa pada awal perkembangan Islam, Ki Ageng Pengging, Sunan Panggung, dan Among Raja. Mereka dikenal sebagai penganut tasawuf yang kemudian dieksekusi yang berkuasa. Bahkan, ada yang dikisahkan dibakar hidup-hidup.

Barangkali gema dari cerita yang lebih masyhur dan memikat dalam sejarah Islam di Timur Tengah adalah cerita tentang Husain ibn al-Hallaj yang wafat pada tahun 922. AM adalah murid dari Syaikh Zain, seorang Syaikh al-Yamami, seorang pemimpin tarekat yang besar di Timur Tengah terutama Naqsyabandi.

Dia ini sebenarnya adalah penerus dari tradisi Naqsyabandi yang dibawakan oleh Syaikh Khaliq dari Naksyabandi India ke tanah Kurdi, yaitu di Arbarter dan dari sana ke Aleppo di pantai barat Suriah dan kemudian melalui Madinah di bawah ke Makkah.

Karena orang-orang Kurdi itu bermazab Syafiíi, tidak usah heran ulama-ulama kita yang ikut tarekat kemudian membawa pulang mazab Syafiíi. Padahal ia sebelumnya bermazab Hanafi.

Di sini arti pentingnya seorang Kurdi, Syekh Zein. Dia mendidik Kiai Mutamakkin. Pada saat yang sama AM juga belajar pada Imam al-Kurrani, seorang sarjana besar, seorang ulama tradisional yang bisa mengedepankan baik tradisi keilmuan yang tinggi maupun kedalaman ilmu pengetahuan (Abdurrahman Wahid, 2002).

Kebesaran AM ditunjang oleh beberapa data sejarah yang menunjukkan dia sebagai seorang wali khariqul adah (tidak seperti kebiasaan manusia pada umumnya) yang disegani. Salah satu contohnya, AM melakukan riyadah (tirakat) selama 40 hari puasa, siang malam, tidak makan dan minum. Pada hari terakhir puasanya, AM menyuruh istrinya membelikan makanan yang paling disukainya di pasar. Setelah makanan itu matang, bahkan baru hangat-hangatnya dan menjelang magrib, AM justru berkelakuan aneh. Dia menyuruh istrinya mengikatnya di sebuah tiang.

Pada saat magrib tiba, nafsu makannya menggelora dengan dahsyat. Di depannya tersedia makanan yang paling disukainya. Pertarungan nafsu dan qalbun salim (hati yang bersih/selamat) akhirya dimenangkan oleh qalbun salim. Ajaib, dari dalam perutnya keluar dua anjing. Kedua binatang yang melambangkan bentuk nafsu makan itu langsung memakan habis makanan yang tersedia di depannya. Namun, kemudian ingin masuk ke dalam perutnya lagi.

AM menolak dan akhirnya kedua anjing tersebut menjadi khadim (pembantu) setia AM dalam perjuangannya. Kedua anjing itu kemudian diberinama Qomaruddin dan Abdul Qohhar (konon katanya kedua nama itu diambil dari nama penguasa zalim dari Tuban).

Mitos sejarah ini begitu melekat dalam jiwa masyarakat sekitar dan para santri yang mondok di Kajen. Setiap hari, dari pagi hingga malam, nonstop selama 24 jam makam AM tidak pernah sepi dari pengunjung. Alunan bacaan Alquran, tahlil, tahmid, takbir, dan salawat bergema sepanjang hari, menyemarakkan suasana desa tersebut yang dihuni ribuan santri.

Pertanyaannya kemudian, apakah hanya sebatas itu ibrah yang dapat kita ambil pada saat Islam terkena musibah besar sebagai agama yang identik dengan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme?
Banyak yang bisa kita ambil sebenarnya. Namun, yang paling penting adalah belajar dari kecerdasan dan kepiwaian AM dalam menerapkan strategi perjuangan di tengah-tengah umat yang terkenal dengan pendekatan kultural-kontekstual.

Pendekatan yang digunakan bukan institusi versus institusi. Dia lebih memilih membangun institusi sendiri yang berada di luar pemerintahan, yaitu tasawuf. AM tidak melawan pemerintah. Di sini kita dapat melihat, bagaimana AM sangat matang dalam mengatur strategi perjuangannya. Dia tidak anti dan pro terhadap pemerintah, tetapi berada di tengah kedua arus tersebut.

Melalui strategi kultural ini AM menanamkan kesadaran dan pencerahan kepada umat lewat forum pengajian, majelis taklim yang sesuai dengan urat nadi persoalan rakyat. Dia berbicara sesuai dengan napas umat, sehingga mampu memberikan solusi sederhana yang aplikatif terhadap persoalan yang terjadi. (Jamal Maímur Asmani,Alumnus PP Mathaliíul Falah dan Raudlatul Ulum Kajen, Margoyoso, Pati. Sekarang aktif di CePDeS (Central for Pesantren and Democracy Studies).

Strategi inilah yang dipakai oleh para Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga. Ada integrasi dan akulturasi Islam dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat secara simbiosis-mutualisme. Saling memengaruhi satu sama lain, menjadi satu kekuatan perubahan besar melawan kultur feodalisme-patriarki yang dilakukan oleh para raja secara gradual, step by step.

Artinya, asimilasi kedua unsur tersebut dijadikan jembatan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan. Dalam pandangan Ketua LIPI Dr Taufiq Abdullah, model strategi semacam ini sama dengan model relasi agama dengan kekuasaan, yang antara Islam dan negara dapat berhubungan sebuah tradisi NGO (non governance organization) atau sebuah LSM (lemaga swadaya masyarakat).

Ada kemandirian, solidaritas dan kohesivitas serta mobilitas sosial kolektif dalam memperjuangkan hak-haknya.
Untuk saat ini, pendekatan perjuangan model AM sangat efektif dan sudah teruji roda sejarah. Terbukti, apabila yang dipilih adalah pendekatan politis, legal formal, struktural dengan target dan ambisi, bukan hasil memuaskan yang dicapai, justru kehancuran, resistensi dan tidak mempunyai kontinuitas. Mudah hanyut ditelan waktu, cepat lapuk oleh putaran masa.

AM mempunyai perhatian dan kepedulian yang total dalam melakukan pemberdayaan dan pencerahan kalangan grassroot, akar rumput. Agama dalam genggaman AM tidak sekadar slogan utopis, sekadar khotbah di podium, tapi betul-betul merupakan sebuah gerak aktif-dinamis, bersenyawa dengan problem kemanusiaan, mampu menjadi lokomotif transformasi dan evolusi bagi persoalan masyarakat secara luas, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik.

Agama bukan berada di menara gading, asyik dengan dunianya, tidak mampu menginjakkan kakinya di bumi, realitas yang sebenarnya. Hal yang menjadi kecenderungan kaum agamawan dan akademisi saat ini. Mereka enjoy dengan dunianya, sedangkan persoalan rakyat secara empiris tidak pernah tersentuh.

AM ini kalau dalam pandangan Ali Syariíati, intelektual terkemuka Iran, termasuk salah satu tokoh intelektual yang tercerahkan, seorang intelektual yang betul-betul mengabdikan ilmu dan jiwanya demi penyadaran, kemajuan dan pengembangan masyarakat.

Atas jerih payah dan prestasinya inilah, sangat pantas kalau Syeikh Ahmad Mutamakkin saat ini menjadi legenda masyarakat Kajen dan seluruh penjuru negeri ini. Sudah sepantasnyalah kita sebagai kader penerus perjuangan beliau tidak hanya menjadikannya mitos sejarah yang menyebabkan muncul romantisme historis-pasif. Namun, seharusnya kita benar-benar menjadikannya sebagai kekuatan perubahan dalam kehidupan masyarakat. (85k)
* a/n Jamal Maímur Asmani.

KH ABDULLAH ZAIN SALAM (Mbah Dullah)


oleh Simbah Kakung (Gus Mus)pada 28 Juli 2011 


Berkenaan dengan haul Simbah KH. Abdullah Salam Kajen, rahimahuLlah, aku turunkan kembali tulisanku saat itu. Saat kudengar kepulangan orang hebat ini ke hadirat Ilahi 25 Sya'ban 1422. Mudah-mudahan ada manfaatnya.


Di Surabaya, dalam perjalanan pulang dari Jember, saya mendapat telpon dari anak saya bahwa Mbah Dullah, KH. Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun! Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu juga.


SubhanaLlah! Selalu saja setiap kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang meninggal, saya merasa seperti anak-anak yang terpukul, lalu hati kecil bicara yang tidak-tidak. Seperti kemarin itu ketika mendengar Mbah Dullah wafat, secara spontan hati kecil saya ‘gerundel’: “Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat seperti mbah Dullah yang dipanggil?” Astaghfirullah!


Sepanjang perjalanan itu pun saya terus diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi mulia mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.


Berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.


Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak lebih baik dari gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan … semuanya disuguh makan.


Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari beliau menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.


Ketika beliau masih menjadi pengurus (Syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Seingat saya, beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia meminta beliau –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.


Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin khataman Quran, menikahkan orang, memimpin doa, dsb.


Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumah beliau. Saya pernah kebetulan sowan, agak kaget di rumah beliau ternyata banyak sekali orang. Belakangan saya ketahui bahwa Mbah Dullah sedang punya gawe. Menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah.


Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama sendiri, beliau termasuk kiai yang menyukai musyawarah. Beliau bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanan beliau yang sudah diketahui banyak orang.


Tawaduk atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.


Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang oleh kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya? 


Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai langka di zaman ini. Tokoh yang hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk masyarakat. Bukan saja karena beliau punya pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas; lebih dari itu sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung maupun melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).


Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa-- merupakan salah satu pantangan utama beliau. 


Beliau tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’. Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji.

Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengan beliau sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau. Konon orang kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu. 

Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang sebenar-benar kaya.
Kisah lain; pernah suatu hari datang menghadap beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah, sedekah kami ala kadarnya.”



“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”


“Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”


“Apa Sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah.


“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata. Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”

Kisah yang beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.
Mbah Dullah ‘memiliki’, di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kiai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh; termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal.

32 tahun pemerintah orde baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan’, jangan coba-coba memasuki madrasah ini.

Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah’, Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan ialah karakternya.
Agaknya mbah Dullah –rahimahuLlah — melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari dalam’; yang kaya ‘dari dalam’; sebagaimana beliau sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT.

Bila benar; inilah perjuang yang luar biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’; gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.

Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat; meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah; meski setiap saat terus merasa kekurangan.

Waba’du; sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal; dapat menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst. Lalu karenanya, memperlakukan orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!

Ke-’wali’-an Mbah Dullah –waLlahu a’lam-- justru karena sepanjang hidupnya, beliau berusaha --dan membuktikan sejauh mungkin-- melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW, terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan beliau; baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya.

Begitulah; Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu telah meninggalkan kita di dunia yang semakin panas ini. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal. Agaknya beliau, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.

Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 / 11 November 2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau pun dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke dalam sorgaKu!”


Selamat jalan, Mbah Dullah! AnnasakumuLlah ilaa yaumi yub’atsuun! 

SERAT CEBOLEK DAN KH AHMAD MUTAMAKIN


  Serat Cebolek karya Kiai Mutamakkin (yang tersimpan di perpustakaan KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta dengan judul: “Suluk Cebolek Gedhe”). Konon, serat ini ditulis R. Ng. Yasadipura I ( 1729-1803 ) -yanf berdasarkan penelitian Riklefs, olehnya diragukan sebagai karya Yasadipura .

Serat ini mengisahkan pertentangan antara ajaran Islam “ortodoks” dengan Islam “heterodoks” (“menyimpang”). Islam ortodoks diwakili oleh Ketib Anom, ahli agama dari Kudus, sernentara Islam heterodoks diwakili Kiai Mutamakkin dari desa Cebolek, Tuban. Dikisahkan, bahwa Kiai Mutamakkin telah mengajarkan “ilmu hakikat” kepada khalayak ramai, ajaran yang dianggap sesat oleh para ulama. Ketib Anom melaporkan hal ini kepada pihak Kerajan Kartasura di Solo. Pengadilan kemudian dilakukan atas diri Kiai Mutamakkin.

Kisah dalam Serat ini, tampaknya lebih memihak para ulama yang mewakili ajaran Islam ortodoks.
Tetapi sebuah teks dari desa Kajen, Pati,mengisahkan “serat” yang berbeda, di mana Kiai Mutamakkin justru dipandang sebagai pihak yang benar. Kisah Kiai Mutamakkin ini mewakili pola yang hampir “tipikal” dalam sejarah Islam: pertentangan antara “ilmu lahir” dan “ilmu batin”, ilmu hakikat dan ilmu syari’at, Islam ortodoks dan Islam heterodoks, “serat resmi,’” dan “serat rakyat’. Apakah ketegangan- ketegangan dalam tubuh Islam sekarang ini bisa dilihat, antara lain, melalui kisah Kiai Mutamakkin ini?
Oleh Gus Dur aliran Mutamakin ini disebutnya sebagai model keempat, yaitu model Jawa yang menyatakan hubungan Islam dengan kekuasaan, di mana memposisikan Islam bukan sebagai oposisi, tetapi mengembangkan kultur Islam yang berbeda altematif) terhadap pemahaman kekuasaan yang ada.
Sebagai bahan banding, ada baiknya jika kita membuka Serat “Sastra Gendhing” (Kesucian Jiwa) karya Sultan Agung, naskah yang lebih tua dari Serat Cebolek, yang antara lain memuat bait tembang Sinom:
“Pramila gendhing yen bubrah, gugur sembahe mring Widdhi, Batal wisesaning shalat, tanpa gawe ulah gendhing, Dene ngran tembang gendhing, tuk ireng swara linuhung, Amuji asmane Dhat, swara saking osik wadhi, Osik muiya entaring cipta-surasa “.
Sultan Agung menegaskan” bahwa kesalahan orang dalam mempelajari agama Islam kebanyakan terletak pada kecenderungan untuk mudah dimabukkan oleh arus syariat. Diperingatkan olehnya, bahwa pedoman yang harns diingat-ingat ialah:
“Syariat tanpa hakikat adalah kosong. Sebaliknya hakikat tanpa syariat menjadi batallah shalat seseorang”.
Jadi hakikat dan syariat kedua-duanya penting. Meskipun demikian, hakikatlah yang harus diutamakan, sebab memahami hakikat lebih sukar daripada melihat syariat. Jika orang mengutamakan syariat tetapi meninggalkan hakikat, berarti sarna dengan mengej ar kulit dan melupakan isi. Ibarat orang memakai baju tetapi tak bernyawa. Demikianlah petunjuk Sultan Agung yang membekali kita dalam ibadah.
Dalam terjemahan bebas, ungkapan di atas berarti demikian:
“Jika syariat sembahyang tidak dituntun oleh kesucian jiwa, maka batallah shalat seseorang. Dan tak ada perlunya orang memelihara hidup kebatinan, apabila tidak berisi usaha mengagungkan Dhat Allah”.
Petunjuk Sultan Agung itu ada persamaannya dengan kritik Prof Dr. Ahmad Syalabi. Dalam bab yang berjudul .’Mempelajari raga tanpa mempelajari jiwa”, sarjana-ulama Mesir dari Universitas Cairo itu mengecam keras ulama-ulama Mesir abad-20, yang secara dangkal melihat semua segi kehidupan beragama dari segi materiilnya saja.
Sosok Syekh Ahmad Mutamakkin
Tak banyak literatur yang membahas tentang kehidupan pribadi Syekh Ahmad Mutamakkin. Salah satu buku yang membahas tentang sosoknya adalah karya Zainul Milal al-Bizawie, yang berjudul Perlawanan Kultural Agama Rakyat (Pemikiran dan Paham Ke agama an Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi, 1645-1740).

SILSILAH SYAIH KH. AHMAD MUTAMAKIN
Versi Kajen / Pihak Ayah Dari Pihak Ibu
- Brawijaya V (Raja Wilwatikta terakhir)
- Raden Patah Sayid Ali Akbar (Sultan Demak )
- Sultan Trenggono
- Putri Sultan Trenggono menikah dg Hadiwijoyo Sayid Ali Ashgor (Joko Tingkir)-

- Sumo Hadiningrat Raden Tanu (Pangeran Benowo)
- Sumohadinegoro menikah dengan Putri Raden Tanu
- Syekh Ahmad Mutamakkin

Ulama asal Cebolek ini menawarkan pendekatan baru dalam membangun akidah umat. Sebagian orang, ada yang memandang rendah seorang ustadz atau kiai yang berasal dari kampung. Umumnya, para ustadz atau kiai kampong ini dianggap kolot, ndeso, sarungan, dan kampungan. Kesan itu biasanya diungkapkan oleh orang-orang yang tidak mengenal kepribadian sang tokoh tersebut.
Namun siapa sangka, tokoh yang biasa pakai sarung, dianggap tak punya keilmuan lebih dibandingkan orang-orang yang berasal dari perkotaan, justru tampil elegan, moderat, dan punya cara elegan dalam melakukan pendekatan dengan penguasa.
Itulah Syekh Ahmad Mutamakkin, seorang ustaz, ulama, dan kiai yang berasal dari Kampung Cebolek, sekitar 10 kilometer dari Tuban. Namun, kemudian menetap di Desa Cebolek, Kajen, Pati, hingga wafatnya. Sebagian Muslim di Jawa Tengah, menyebut tokoh ini dengan nama Mbah Mbolek atau Mbah Mutamakkin. Demikian penuturan Hasyim Asyari, peneliti senior pada Central Riset dan Manajemen Informasi (CeRMIN), Kudus.
Hasyim menjelaskan, berdasarkan keterangan masyarakat sekitar Kajen, Mbah Mutamakkin ini masih keturunan bangsawan Jawa, dari garis bapak adalah keturunan dari Raden Patah (Sultan Demak) yang berasal dari Sultan Trenggono. Sedangkan dari garis ibu, Syekh Mutamakkin adalah keturunan dari Sayyid Aly Bejagung, Tuban, Jawa Timur. Sayyid ini mempunyai putra bernama Raden Tanu. Dan, Raden Tanu ini mempunyai seorang putri yang menjadi ibunda Mbah Mutamakkin. “Dipercayai bahwa nama ningrat Mbah Mutamakkin adalah Sumohadiwijaya, yang merupakan putra Pangeran Benawa II (Raden Sumohadinegoro) bin Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pembayun binti Prabu Brawijaya V,” jelas Hasyim.
Serat Cebolek dan Teks Kajen
Mayoritas umat Islam di Indonesia mungkin kurang mengenal nama Syekh Ahmad Mutamakkin. Namun demikian, di Jawa Tengah khususnya, nama tokoh ini begitu lekat dengan kehidupan masyarakat. Tokoh ini dikenal sebagai seorang “pemberontak” melawan arus kekuasaan. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang kontroversial, ketika itu. Zainul Milal Bizawie dalam bukunya, Perlawanan Kultural Agama Rakyat : Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi, menyebutkan, tokoh ini sebagai seorang “neo-sufi” pada abad ke-17-18 Masehi (1645-1740 M).

Menurut Zainul, Syekh Ahmad Mutamakkin adalah tokoh sufi atau penganut tasawuf yang prosekusi dari yang berkuasa. Sebuah kehidupan kaum sufi yang memiliki pandangan berbeda dengan pandangan umat. Seperti halnya Husain Ibn al-Hallaj yang wafat pada 922. Syekh Ahmad Mutamakkin ini juga dikaitkan dengan cerita lain yang terkenal pada awal perkembangan Islam di Jawa, yaitu Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, Sunan Panggung, dan Amongraga.
Dalam Serat Cebolek disebutkan, Syekh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama kampung, berseteru dengan ulama birokrat (Keraton Solo) yang diwakili oleh Katib Anom Kudus. Dalam serat ini dikisahkan, Syekh Ahmad Mutamakkin mengajarkan ilmu hakikat (tasawuf) kepada khalayak ramai. Namun, ajaran ini dianggap sesat oleh sejumlah ulama lain, termasuk Katib Anom.
Katib Anom lalu melaporkan hal ini pada pihak Kerajaan Kartasura di Solo. Pengadilan pun dilakukan atas diri Kiai Mutamakkin. Menurut Gus Dur, pandangan ulama-ulama itu begitu tampak membebek dengan kekuasaan. Sementara itu, Syekh Ahmad Mutamakkin berani melakukan perlawanan kultural dengan kekuasaan yang dianggap salah.
Dalam pandangan Gus Dur, Syekh Mutamakkin memiliki pendapat yang berbeda dengan ulama dan pihak Keraton dalam mengajarkan Islam pada umat. Sebab, Islam itu bukan hanya fikih, tetapi juga ada ilmu lain, seperti tasawuf. “Beliau tampaknya ingin memperkenalkan kultur baru atau budaya baru dalam mendidik rakyat,” jelas Gus Dur pada sebuah diskusi mengenai Kehidupan Syekh Ahmad Mutamakkin, beberapa waktu silam.
Sultan Hamengkubuwono X dalam artikelnya berjudul Misteri Mantra dalam Naskah-naskah Keraton, menyatakan, kisah dalam Serat Cebolek tampaknya memihak para ulama yang mewakili ajaran Islam ortodoks, ketimbang usaha yang dilakukan Syekh Ahmad Mutamakkin.
Peran Syekh Ahmad Mutamakkin yang “melawan kekuasaan” sebagaimana disebutkan dalam Serat Cebolek, justru bertolak belakang dengan Teks Kajen. Dalam teks ini, Syekh Ahmad Mutamakkin digambarkan sebagai seorang pahlawan yang berani menentang kejahilan. Bahkan, dalam teks ini, Syekh Mutamakkin dipandang sebagai pihak yang benar. Menurut Sultan HB X, Syekh Mutamakkin mewakili pola atau “tipikal” ajaran dalam sejarah Islam: pertentangan antara “ilmu lahir” dan “ilmu batin”, ilmu hakikat dan ilmu syariat, Islam ortodoks dan Islam heterodoks, “serat resmi” dan “serat rakyat”.
Dalam Serat “Sastra Gendhing” (Kesucian Jiwa) karya Sultan Agung, naskah yang lebih tua dari Serat Cebolek, memuat beberapa bait tembang Sinom. Pramila gendhing yen bubrah, gugur sembahe mring Widdhi, Batal wisesaning shalat, tanpa gawe ulah gendhing, Dene ngran tembang gendhing, tuk ireng swara linuhung, Amuji asmane Dhat, swara saking osik wadhi, Osik muiya entaring ciptasurasa.
Sultan Agung menegaskan bahwa kesalahan orang dalam mempelajari agama Islam, kebanyakan terletak pada kecenderungan untuk mudah dimabukkan oleh arus syariat. Diperingatkannya, pedoman yang harus diingat-ingat ialah: “Syariat tanpa hakikat adalah kosong. Sebaliknya, hakikat tanpa syariat menjadi batallah shalat seseorang.” Hal ini senada dengan pandangan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. “Hakikat dan syariat itu penting. Belajar syariat tanpa hakikat adalah kosong, tak berguna. Dan, hakikat tanpa syariat, maka batal.” Orang yang mengutamakan syariat dan meninggalkan hakikat, bagaikan mengejar kulit, namun melupakan isi.
Guru Besar Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Ahmad Syalabi, dalam Mempelajari Raga tanpa Mempelajari Jiwa, mengecam cara-cara ulama Mesir abad ke-20 yang secara dangkal melihat semua segi kehidupan beragama dari segi materiilnya saja. Seperti itulah pola pengajaran yang dilakukan Syekh Ahmad Mutamakkin.
Menurut Hasyim Asyari, ajaran Islam tak hanya dilakukan dengan pendekatan fikih, tafsir, dan lainnya. Islam juga bisa didekati dan dikenali melalui pendekatan hakikat dan tasawuf. Mungkin, karena hal inilah sebagian ulama fikih, seperti Katib Anom, Kudus, merasa khawatir dengan ajaran yang dikembangkan Syekh Ahmad Mutamakkin. Sehingga, dikhawatirkan pemahaman keagamaan seperti ini akan membahayakan akidah umat yang baru belajar tentang keislaman.
Namun demikian, bagi Syekh Ahmad Mutamakkin, pengenalan jati diri dan hakikat ketuhanan, sangat penting dalam membentuk pemahaman umat. Sebab, agama Islam bukan hanya transaksional semata, yakni sekadar pahala dan dosa, atau surga dan neraka. Sebab, surga dan neraka adalah urusan Allah. Karena itu, mengenal Allah akan membentuk diri seorang Muslim makin mencintai Sang Penciptanya. Sebab, orang yang sangat cinta pada Allah, akan mendapatkan kebahagiaan yang tak terkira. Kebahagiaannya jauh melebihi segalanya.
Pemahaman seperti ini pula yang dilakukan oleh Rabiatul Adawiyah, dalam menjalankan ibadah. Simak ungkapan Adawiyah. ?Ya Allah, kalau ibadahku semata-mata karena mengharapkan surga-Mu, maka jauhkanlah surga itu dari pandanganku. Kalau ibadahku karena takut akan neraka-Mu, dekatkan neraka itu padaku, biar jiwaku ada di dalamnya. Bagiku, Engkau cukup.? Wa Allahu A?lam.
Menurut Habib Luthfi Pekalongan dan almarhum mbah mbah Kyai Abdurrahman (salah satu dari mursyid Thoriqot Naqsabandiyah Rowobayan), Sumahadi Negoro atau Condrodinegoro, yang tidak lain adalah ayah dari mbah Kyai Mutamakkin Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Beliau adalah seorang ulama kelahiran Tuban dengan nama asli Ahmad Mutamakkin. Haulnya selalu diadakan setiap 10 Muharam di Pati.
Ahmad Mutamakkin hidup dan berkiprah pada masa Pemerintahan Kerajaan Solo – antara tahun 1719-1749 dan mengalami dua macam penguasa yaitu Amangkurat IV dari Kartasura dan Pakubuwono II di Surakarta. Beliau terlibat dalam perdebatan seru ketika diadili oleh Katib Anom, semacam menteri agamanya, Amangkurat IV. Pemeriksaan pandangan-pandangan beliau oleh Katib Anom, yang notabene cucu Sunan Kudus, direkam dalam sebuah tembang Kraton yang berjudul Serat Cebolek. Serat atau risalah (arab) yang menggunakan bahasa Sastra Jawa tingkat tinggi itu ditulis oleh Raden Ngabehi Yasadipura I (sebagai orang Kraton).
Serat itu mengisahkan tentang seorang kyai mistik pengikut teori “Wahdatul Wujud” (kesatuan wujud), yakni Kyai Mutamakkin. Pandangan kiai ini dianggap sebagai “gangguan” oleh penguasa resmi di Keraton Surakarta, yang dalam hal ini diwakili oleh Katib Anom. Terjadilah pengadilan atas Kyai Mutamakkin yang juga dikenal sebagai Kiai Cebolek itu. Salah satu tuduhan yang diarahkan kepadanya adalah kegemarannya untuk menonton wayang kulit, terutama dengan lakon Bima Sakti / Dewa Ruci
Ayah mbah Sabil (Benawa-bukan pangeran Benowo) adalah cucu Sunan Amangkurat I atau biasa dikenal sebagai Sunan Tegal Wangi, yang dulu oleh Belanda telah difitnah sebagai pembunuh kyai-kyai di Jawa. Sunan Tegal Wangi ini adalah turunan ke IV dari Ki Ageng Sasela/Ki Ageng Selo.
Ki Ageng Sasela, satu julukan yang tidak asing lagi bagi telinga-telinga orang Jawa, beliau sebetulnya bernama : Kyai Ageng Ngabdul Rakhman yang berdiam di Seselo. Menurut cerita, ketika sedang asyik bekerja di sawah, petir menyambar-nyambar mengganggu beliau yang sedang giat-giatnya mencangkul, kemudian sang petir ditangkap dan di ikat pada sebatang pohon grati. Wujudnya berupa api yang sampai sekarang masih menyala dan disimpan dalam almari kayu di komplek makam di dukuh Pajimatan, Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.

Jumat, 14 September 2012

HAJI MABRUR

Haji Mabrur
 
 
 
 Setiap penatar manasik haji, tdk pernah lupa menyitir hadis “Alhajjul mabruur laisa lahu jazaa-un illal jannah” (Haji Mabrur balasannya hanyalah sorga). Lalu, biasanya mendoakan calon jamaah haji agar hajinya mabrur. Dan mrk yg ditatar srentak mengucap “Amin!” dg semangat.
Tapi aku belum pernah mendengar penatar menerangkan apa itu HAJI MABRUR, kemabrurannya haji itu bagaimana. Anehnya, yg ditatar pun tak ada yg menanyakannya. Seolah-olah semuanya menganggap itu sdh dipahami, tak perlu diterangkan lagi. Apakah benar demikian? Aku ragu.
Soalnya setiap penataran, materinya hampir dipastikan itu2 saja. Bagaimana thawaf, bagaimana sa’i, bagaimana wukuf, apa saja doa2nya. Padahal THAWAF itu hanya ber-putar2 mengelilingi Ka’bah. SA’I hanya mondar-mandir Shafa-Marwah. WUKUF hanya berdiam diri di Arafah. Selebihnya melempar Jamrah. Masak ber-putar2, mondar-mandir, berdiam diri, dan melempar saja ditatarkan. Se-bodoh2 org, tak akan salah memutari Ka’bah. Kalau salah, pasti akan ketabrak org. Mondar-mandir Shafa-Marwah malah sudah dibuatkan 2 jalur. 1 dr Shafa, 1 dr marwah. Apalagi berdiam diri (wukuf) dan melempar (jumrah); bagaimana ditatarkan? Yg lebih absurd lagi, banyak yg membuat ka’bah tiruan permanen.
Mungkin bnyk yang lupa bhw ibadah haji itu ibadah ‘amaliyah’. Artinya ~ tdk seperti shalat~ asal niat, laku dan tindakannya benar, sah. Bacaan2 tidak wajib. Sedangkan doanya tidak harus bahasa Arab. Kembali ke soal mabrurnya haji. Dari riwayat yg pernah kubaca, ternyata kemabrurannya haji memang bukan mengenai ritual itu saja, tapi lebih kepada amaliah sosialnya. Seperti silaturahim dan menolong sesama. Wallahu a’lam.
oleh : KH. Mustofa Bisri


SERTIFIKASI ULAMA'

Sertifikasi Ulama'

Banyak yang mengacaukan antara lain istilah :
 1) 'ULAMA' dalam bahasa Arab (jama'nya ÃLIM = orang berilmu/ berpengetahuan/mengerti/ cendekiawan) dengan  "ULAMA" dalam bahasa Indonesia (bentuk mufrad, Lihat KBBI) yang bisa dan sering diartikan kiai, ajengan, atau anggota pengurus MUI.
 2)  'USTADZ' bahasa Arab (yang berarti guru/ profesor) juga dikacaukan dengan arti ULAMA, KIAI, MUBALIG, dan ARTIS.ULAMA/KIAI (istilah Indonesia) menurut Arief Budiman, ada yg produk>> (Masyarakat) ada yang produk >>(Pemerintah), dan>> ada yang produk (Pers).
Dan sedangkan arti dari ULAMA/KIAI produk Masyarakat ialah yang karena ilmu dan perilakunya, diakui oleh ~dan kemudian digelari begitu oleh~ masyarakat. Sedangkan ULAMA/KIAI produk Pemerintah di zaman ORBA banyak sekali. Tapi yang paling 'manjur' pastilah ULAMA/KIAI produk Pers. Gelandangan pun jika Pers, karena sesuatu hal, menyebut2nya sebagai ULAMA/KIAI, maka orang pun akan menganggapnya ULAMA/KYAI,
Memungkinkan jika 
Kita bisa tambahkan: ULAMA/KIAI produk politisi dan produk sendiri. Yg ini modalnya cukup kostum ULAMA/KIAI dan sedikit keahlian akting.Politisi atau perorangan yang akan memproduk ULAMA/KIAI, akan berhasil meyakinkan bila bekerjasama dengan Pers. Mengingat Pers terbukti sebagai Pembentuk opini yang luar biasa. Waba'du; jadi sertifikasi itu upaya untuk memproduk juga ULAMA/KIAI? Bukti ORBA masih anu..?
 oleh : KH. Mustofa Bisri

Dan Yang dpt saya simpulkan ya'ni tak bisa untuk mensertifikasi seorang Ulama'/Kyai, toh itu Alasan yang tak tepat jikalau untuk menunjang istilah kasarnya "Gaji" bagi seorang Kyai,,lha wong kyai itu mengajar ilmu ke masyarakat lillahi ta'ala(karena Allah semata),,itulah prinsip pertama yg mendasari Kyai untuk tetap pada peganganya "Hubbu dunya ro'su 'ala kulli khotiiatin"
Beda kata lagi ketika sertifikasi untuk Ustadz/Guru, dan kali ini saya mendukung penuh dengan adanya sertifikasi ini untuk di tujukan pada ustadz/guru, dengan adanya tunjangan dr pemerintah ustadz/guru tak susah lagi untuk di kesampingkan dr guru2 umum yg berstatus 'kurikulum',
Inilah pendapat saya yang tak tau dalamnya ilmu seberapa, tapi mencoba untuk berenang kedalamnya, dan semoga Allah SWT pun MeRidloinya,,,Amin,
# JAZAAKALLAH KHER JAZA' #

Selasa, 11 September 2012

LAPTOP TERMAHAL DI DUNIA

laptop termahal di dunia

boleh jadi, jika Anda seorang pebisnis, salah satu nilai kesuksesan terlihat dari laptop yang digunakan. Jadi, jika laptop yang digunakan premium, semakin tinggi prestise yang muncul. Terlebih jika ada material berharga yang digunakan di dalamnya. Berikut 5 laptop prestisius sekaligus termahal di dunia:

1. Luvaglio One Million Dollar Laptop: (US$1 juta/Rp 9 miliar)

Inilah laptop termahal di dunia, seharga Rp 9 miliar.Komputer jingjing satu ini dibuat hanya jika ada pesanan dan itu pun satu desain hanya untuk satu pemesan. Bahannya sendiri bisa dipilih dari kayu, metal, atau besi. Yang menarik, pemiliknya bisa upgrade sendiri komponen di dalamnya. Secara teknis, tipe ini dibekali hard drive 128 GB, pemutar MP3, hingga peralatan terintegrasi dalam membersihkan layar.

2. Tulip E-Go Diamond: (US$355,000/Rp 3,1 miliar)

Laptop ini menjadi mahal karena desainnya unik, menyerupai tas wanita, dengan pegangan tasnya terbuat dari emas putih dan berlian. Dari sisi spesifikasi, tak jauh beda dari kebanyakan. Seperti layar 12 inchi, RAM 2GB, hard drive 160GB, webcam, Bluetooth 2.0, dan DVD burner.

3. Ego for Bentley: (US$20,000/Rp180 juta)

Meskipun mengusung merek mobil keren, Bentley, namun laptop satu ini lebih cocok untuk perempuan kaya. Dengan gaya yang keren, seri ini memiliki warna yang sesuai dengan mobil Bentley. Spesifikasinya sendiri tergolong biasa, yakni hard drive 160 GB dan sistem operasi 64 bit.

4. Voodoo Envy H:171: (US$8500/Rp76,5 juta)

Yang satu ini mahal karena performanya memang jempolan. Silahkan cek spesifikasinya: Intel Core 2 Extreme X6800 processor, RAM 4GB, twin Nvidia Quadro FX Go 2500M graphics chipset, 1.3MP webcam, 250GB hard disks, 7-in-1 memory card reader, dual layer DVD RW drive, dan layar 17 inchi 1920×1200 display. Bodi luarnya sendiri bisa digantikan hingga 25 warna dengan 14 model gambar yang bisa disesuaikan.

Senin, 10 September 2012

MACAM MACAM KURMA

MACAM2 KURMA

1. Kurma Ajwa

Kurma ini hanya tumbuh di tanah Madinah (Saudi Arabia) dan ini merupakan kurma favorit Nabi Muhammad SAW, warna hitam, tekstur lembut, Kurma ini tidak terlalu manis namun rasanya hampir mirip dengan kismis.


2. Kurma Sekki

Ada dua warna, atas kekuning-kuningan sedang bawah kecoklatan, bagian yang kuning kalau dimakan lebih keras, namun untuk yang berwarna kecoklatan biasanya rasanya empuk. Kurma ini memiliki tingkat kemanisan yang sedang.


3. Kurma Barhi

Kurma yang satu ini memiliki warna cokelat cerah., rasanya juga mirip dengan caramel. Kurma ini juga sering sekali ada pada hari-hari selain bulan ramadhan.

4. Kurma Kholas

Warna cokelat terang keemasan mirip kurma barhi, hanya saja ada citarasa coffee caramel, tekstur dagingnya lebih empuk rasanya juga tidak terlalu manis.


5. Kurma Khidri

Warna maron gelap lebih kering, kenyal, tidak terlalu manis paling banyak diproduksi, biasa digunakan bahan dasar olahan kurma, mulai dari kurma isi almond, orange, hingga campuran cokelat.

6. Kurma Mactoumi

Warna sedikit hitam kemerahan , permukaan agak keriput, kenyal, rasa manis. 

7. Kurma Sokari

Tekstur kenyal lembut tapi ada juga jenis yang keras, paling disukai di Arab Saudi, sedikit kering dan manis.

8. Kurma Silaj

Warna cokelat kemerahan bentuk lonjong, tekstur lembut rasa manis sedang.

9. Kurma Majol

Warna cokelat sangat manis lembut dan kenyal, tekstur kurma ini juga berwarna cokelat yang mengkilap.

10. Kurma Monief

Kurma monief ini berwarna cokelat terang, ukurannya tidak begitu besar,rasanya manis sedang dan memiliki tekstur yang lembut.

inilah yang saya ketahui tentang jenis2 kurma,adapun yang kelewatan tak tersebut, menerima saran dan kritiknya :)