AWWALAN

Selasa, 17 Desember 2013

MENGENANG SAHABAT PONDOK

Wak Turi, begitu akrab kami memanggilnya. Teman kami yang penuh prinsip bagaikan tongkat, berdiri tegak membantu sesama untuk berdiri dengan penuh semangat. Dulu, Wak Turi bisa dibilang nakal sebelum mondok di Kajen. Pilihan mondok di Kajen adalah pilihan ibunda Wak Turi yang satu tempo ketika bermunajat kepada Tuhan, dating sebuah bisikan, “nek kepengen anakmu mari, dusi banyu Kajen” (Kalau ingin anakmu sembuh dari kenakalannya, mandikanlah air Kajen).

Di penghujung Tahun 2008 masa pengabdian kepada Pesantren tercinta PMH Pusat, sahaya mengajukan Wak Turi dan Kang Eri (Kapolda) kepada Abah sebagai pilihan untuk menjadi calon Ketua PMH Pusat Periode 2009. Dan alhamdulillah, Wak Turi-lah yang mendapat suara terbanyak sehingga lebih berhak untuk mengemban amanah dari Abah. Selama kepemimpinan Wak Turi sebagai Ketua PMH Pusat, seiring dengan bangunan PMH Pusat yang baru, banyak program-program maupun kebijakan-kebijakan baru yang benar-benar melahirkan banyak kebajikan bagi segenap warga santri PMH Pusat. Wak Turi benar-benar mengemban amanah ini dengan sepenuh hati, segenap jiwa dan raga. Wak Turi benar-benar menjadi pemimpin yang dalam bahasa Bung Karno “seorang yang melampaui dirinya sendiri” karena ia lebih mengutamakan kepentingan bersama melampaui dan mengalahkan kepentingannya sendiri. Seorang pemimpin yang merakyat karena antara dirinya dan rakyatnya tiada sekat. Seorang pemimpin yang menjadi suri tauladan, karena betapa ia selalu mengajarkan bahwa apapun jika diniati khidmah kepada Kyai pasti akan mendatangkan keberkahan. Ibarat Imam dalam Shalat, Wak Turi adalah Imam yang pas bagi warga PMH Pusat. Bagaimana tidak? Shalatnya tidak terlalu cepat hingga yang belum bisa shalat tidak terlambat, atau tidak terlalu lambat hingga yang sudah bisa shalat pun tidak menunggu dengan berat. Pas! Ia sering menjuluki dirinya dengan “Wisnu” yang merupakan dewa pemelihara dan pelindung alam semesta, dengan harapan bahwa ia pun ingin menjadi pemelihara dan pelindung alam semesta dengan menjadi sayyidin panatagama khalifatullah ing tanah juwana.

Di penghujung Tahun 2009, Wak Turi bercerita bahwa ia bermimpi mengimami Kang Ridho. Dan ternyata mimpi itu mengejawentah dalam dunia nyata. Ya, Wak Turi terpilih untuk yang kedua kalinya menjadi Ketua PMH Pusat Periode 2010, dan Kang Muhammad Ridhollah Mu’thi sebagai wakilnya. Dalam catatan sejarah, baru kali ini ada Ketua PMH Pusat yang mengemban amanah selama dua tahun berturut-turut. Dan banyak sekali yang dipersembahkan Wak Turi untuk PMH Pusat. Apalagi ketika datang even tahunan yakni peringatan maulidiyyah yang diselenggarakan oleh empat pesantren komplek pol-garut, PMH Pusat, PMH Putra, PMH al-Kautsar, dan PMH Timur. Wak Turi begitu antusias nguri-nguri tradisi maulidan peringatan kelahiran Baginda Rasul SAW yang kelahirannya ditunggu-tunggu dengan gembar-gembira oleh seluruh alam. Ia selalu mengajak seluruh warga PMH Pusat untuk nderek hurmat Kanjeng Nabi dengan mengikuti berbagai acara yang diselenggarakan oleh Panitia Maulidiyyah (Pamal) termasuk lomba.

Di penghujung tahun 2010, malam nishfu sya’ban, malam mustajabah dimana doa-doa yang dilayangkan akan mudah terkabulkan, malam keramat dimana buku amal setahun akan ditutup dan diganti dengan lembaran-lembaran baru, semalaman ia tidak tidur. Entah doa apa saja yang ia panjatkan, tetapi yang jelas ia masih ingin selalu bersama Abah dan mengabdi kepada Abah. Esok harinya, ia ditimbali. Dan, di hari-hari kemudian ia pindah ke kamar sebelah ndalem Abah belakang toko. Alhamdulillah, Wak Turi masih bisa meneruskan pengabdiannya kepada Abah. Pekerjaan apapun ia lakukan selama ia mampu dan kuat, dengan tekad yang bulat bahwa khidmah kepada Kyai selamanya akan mendatangkan berkah meskipun kita tidak bisa membaca kitab atau tidak faham mendalam tentang agama. Baginya, mengaji kepada Kyai bukan sekedar membuka kitab menyimak penjelasan Kyai sembari memaknai, lebih dari itu! Bahwa tindak lampah dan ahwal Kyai adalah kitab yang selalu terbuka untuk dibaca selama kita mau membaca, karena tidak ada Kyai sejati yang tidak mengamalkan ilmunya dalam kehidupannya. Mengaji ya ini, ngaji laku, ngaji ahwal, ngaji balung. Disebut ngaji balung karena ngaji ini adalah ngaji yang paling dalam dan ngaji yang paling inti, karena inilah kerangka dasar! Apalah guna daging tanpa balung? Jadi, meskipun secara dhohir Wak Turi tidak banyak mengikuti pengajian-pengajian kitab, tapi secara batin diam-diam ia mengamati secara mendalam dan mengamalkan apa yang nampak dari Abah setiap kali beliau menjejak, apa yang terlihat setiap kali beliau memberi isyarat. Bukankah العالم يعلم بالإشارة? Tiada yang mampu memahami isyarat kecuali orang-orang yang tahu dan mengerti. Barangkali inilah tafsir mimpi Wak Turi yang tempo hari pernah ia ceritakan kepada saya. Dalam mimpinya, ia melihat orang-orang berlari-lari kesana-kemari berebut tongkat Abah, kemudian ia ditimbali dan dingendikani Abah: “Wis njarke wae, iko mau palsu, iki lho seng asli gowonen.” (Sudah, biarkan saja. Itu tadi yang palsu. Ini yang asli bawalah).

Sewaktu Kyai Mahfudz Siddiq Margoyoso wafat (1 Muharram 1435 H), Gus Aam putera beliau meminta saya mengajak tiga orang untuk bersama-sama khataman al-Quran sampai tujuh hari-nya wafat beliau. Saya, Wak Turi, Kak Irsyad, dan Kang Mahfudz. Wak Turi nampaknya tidak enak badan namun ia selalu merelakan dirinya dan memaksakan untuk hurmat guru-guru dan khidmah para Kyai. Kebiasaanya adalah menyembunyikan rasa sakit meskipun tak tertahankan agar orang lain tak merasa terbebani atau merasa kasihan. Sampai terdengar kabar bahwa sakitnya cukup serius, dan Wak Turi dilarikan ke RSU Soewondo. Ketika sahabat-sahabat menjenguk, ia sering melempar senyum bahagia, dan kelihatannya memang menyembunyikan sesuatu yang tidak enak untuk diceritakan. Katanya: “Ora opo-opo, yo rodo gak penak wae, Alhamdulillah iseh diparingi loro ben ora koyo fir’aun seng gak tahu loro” (Tidak apa-apa, ya cuma tidak enak badan, biar tidak seperti fir’aun yang tak pernah sakit).

Kang Ridho tiba-tiba sms sahaya katanya ia bermimimpi bertemu sahaya. Kami berdua dalam mimpi tersebut terlihat sedih menatap langit, ada lembaran-lembaran putih berterbangan ke langit. Kang Ridho bertanya kepada sahaya ada apakah, dan sahaya menjawab namun tak begitu jelas hingga tak terdengar olehnya.
Sore itu, sahaya, Kang Ishom, Kak Irsyad tengah bersantai-sore (12 Shafar 1435 H). tiba-tiba Lek Nur Ahyani menelfon, “Wak Turi ninggal”. Ya Allaaah Innaaa lillaaaah Wa Innaa Ilayhi Raaaji’uuuuun… inikah tafsir mimpi Kang Ridho bahwa kami terlihat sedih menatap langit, ada lembaran-lembaran putih berterbangan ke langit? Sebegitu cepatkah? Rasanya baru kemarin sahaya tanyai Wak Turi katanya sudah mendingan dan sudah pulang ke rumah, sebegitu cepatkah? Allaaahhh… Wak Turi… Selamat jalan Wak Turi. Kami bersaksi bahwa engkau orang baik, dan surga bagimu adalah balasan yang paling laik.

akan datang hari, mulut dikunci, kata tak ada lagi. akan tiba masa, tak ada suara, dari mulut kita. berkata tangan kita tentang apa yang dilakukannya. berkata kaki kita kemana saja ia melangkahnya. Ya Allaaaah... Innalillaaaah... Wa innaaa ilayhi raaji'uuun...

 اللهمّ اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه، اللهمّ اجعل الجنة مثواه، اللهمّ أكرم نزله ووسع مدخله ونور قبره

Oleh : Sahal Mahfudz

AMALAN YANG RINGAN NAMUN BERMANFAAT

فــــائـــــدة :
AMALAN YANG RINGAN NAMUN BERMANFAAT

AMALAN BERIKUT INI DIRIWAYATKAN DARI SEORANG ULAMA YANG AGUNG BELIAU ADALAH IMAM SUYUTHI.

BARANG SIAPA MENGAMALKAN AMALAN DI BAWAH INI MAKA ALLAH AKAN MEMBERIKAN KEPADANYA PEMAHAMAN ILMU DAN HARTA YANG BERLIMPAH

BACALAH:

( أستغفر الله الذي لا إله إلا هوَ الحي القيوم بديع السموات والأرض وما بينهما من جميع جرمي وإسرافي على نفسي وأتوب إليه
"AKU MOHON AMPUN KPD ALLAH DARI SEGALA KEDHOLIMANKU DAN SEMUA SIKAPKU YANG MELEWATI BATAS., DIALAH DZAT YANG MAHA ESA, TIADA YANG WAJIB DISEMBAH KECUALI DIA. DIALAH PENCIPTA LANGIT SERTA BUMI DAN SEMUA ISINYA....AKU BERTAUBAT KEPADANYA"
DIBACA SETIAP HARI HANYA TIGA KALI SETELAH SHOLAT SHUBUH

Rabu, 11 Desember 2013

MANAQIB MBAH HASAN SEPUH

Nama : Mohammad Hasan (KH. Mohammad Hasan)
Nama Masa Kecil : Ahsan
Nama Akrab : Kiai Hasan, Kiai Hasan Sepuh.
Tanggal Lahir : Probolinggo, 27 Rajab 1259 h / 23 Agustus 1843 m
Tanggal Wafat : Probolinggo, 11 Syawal 1374 h / 1 juni 1955 m
Alamat Asal : Desa Sentong Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo
Alamat Tinggal : Desa Karangbong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo
Nama Ayah : Syamsuddin (Kiai Syamsuddin / Kiai Miri)
Nama Ibu : Khadijah (Nyai Khadijah / Nyai Miri)

KH. Mohammad Hasan, begitulah nama lengkap tokoh kita di naskah ini. Di masa kecil, beliau bernama Ahsan. Beliau lahir di sebuah desa bernama Sentong. Sentong terletak  4 km arah selatan kraksaan. Dulu, desa Sentong masih berada di wilayah kawedanan Kraksaan. Saat ini Sentong termasuk wilayah Kecamatan Krejengan.
Pada suatu malam, langit cerah waktu itu, sepasang suami istri tidur terlelap di rumahnya. Si suami, seorang lelaki bernama Syamsuddin sehari-hari bekerja mencetak genteng. Genteng yang diolah dari tanah liat dijual untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya, seperti wanita pada umumnya, adalah seorang ibu rumah tangga yang patuh pada suaminya. Khadijah–nama istrinya–juga turut membantu pekerjaan suaminya itu dan menyiapkan hidangan yang layak untuk suaminya. Keluarga itu adalah keluarga yang bahagia.
Malam itu Syamsuddin bermimpi indah. Dalam mimpinya ia melihat istrinya merenggut bulan purnama

kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikitpun. Ketika terbangun, syamsuddin bertanya-tanya apa makna mimpinya itu. Berhari-hari dia merasa penasaran, namun belum ada jawaban yang dapat memuaskan rasa penasarannya itu. Syamsuddin dan istrinya hanya bisa bermunajat kepada Allah SWT berharap bahwa mimpi itu merupakan pertanda baik bagi mereka berdua. Aktifitas mereka berdua kembali seperti biasa. Suatu hari Khadijah merasa bahwa dia sedang hamil untuk kedua kalinya. Sepertinya mimpi suaminya bahwa khadijah menelan bulan purnama menandakan bahwa dia akan hamil.
Syamsuddin adalah orang yang rajin bersedekah, begitu pula Khadijah istrinya. Setiap mendapat hasil kerja, tak lupa mereka bersedekah kepada orang-orang yang berhak. Suami istri ini adalah keluarga yang taqwa kepada Allah SWT. Ibadah adalah rutinitas yang utama dalam keluarga ini. Di lingkungannya, keluarga ini adalah salah satu keluarga terpandang. Masyarakat memanggil suami istri itu dengan sebutan Kiai dan Nyai. Jadilah panggilan mereka berdua Kiai Syamsuddin dan Nyai Hajjah Khadijah. Namun masyarakat lebih akrab memanggil mereka dengan sebutan lain yaitu Kiai Miri dan Nyai Miri. Hingga wafatnya, pasangan Kiai Miri-Nyai Miri ini memiliki 5 orang putra.
Kiai Miri adalah putra dari Kiai Qoiduddin, sedangkan Nyai Khadijah ini adalah anak ke-2 dari 8 bersaudara dari suami istri yang Qomariz Zaman. Qomariz Zaman sebenarnya adalah nama sang ibu, sedangkan nama ayah Nyai Khadijah tidak diketahui. Kelak, nama Qomariz Zaman ini diabadikan sebagai sebuah ikatan perkumpulan anak keturunan kakek-nenek Qomariz Zaman.
Waktu terus berlalu dan ketika genap hitungannya, lahirlah jabang bayi laki-laki yang dinanti-nantikan itu. Ketika itu tanggal 27 rajab 1259 h, kurang lebih bertepatan dengan 23 agustus 1843 m. Oleh Kiai Miri, putranya itu beliau beri nama Ahsan; Ahsan bin Syamsuddin.
Ahsan tumbuh selayaknya anak kecil pada umumnya. Di bawah bimbingan ayah dan ibunya, Ahsan mendapatkan bimbingan yang layak. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama karena sang ayah, Kiai Miri, meninggal dunia pada saat Ahsan masih kecil. Jadilah Ahsan hanya diasuh oleh sang ibunda.
Ketika kecil, Ahsan telah menampakkan suatu keistimewaan tersendiri dibandingkan saudara-saudara dan teman-teman sebayanya. Keistimewaan itu tercermin dari sifat-sifat yang melekat pada diri Ahsan. Sikap, tutur bahasa, dan tata krama pada orang sekitarnya sangat sopan dan santun. Ahsan juga termasuk anak yang cerdas pikirannya, cepat daya tangkap hafalannya serta kuat daya ingatnya, merupakan sifat-sifat yang memang dimiliki sejak kecil. Pergaulannya sehari-hari senantiasa dibimbing ibundanya dengan baik. Selain ibunda, Ahsan juga dibimbing oleh seorang pamannya yang bernama sama dengan sang ayah yaitu Kiai Syamsuddin.
Pamannya ini mempunyai seorang putra bernama Asmawi. Asmawi berusia lebih tua dari Ahsan sehingga Ahsan memanggil Asmawi dengan sebutan kakak. Sebaliknya Asmawi memanggil Ahsan dengan sebutan Adik. Mereka berdua selalu bersama-sama sejak kecil hingga melanglang buana menuntut ilmu di Mekkah.
Sebagai pribadi, Ahsan kecil memiliki sifat rendah hati, ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah pada siapapun yang dijumpai. Sebagai seorang muslim, ahsan menganggap bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan memperbaiki kualitas moral yang terdapat dalam diri beliau. Dalam Islam, akhlak memiliki dimensi yang luas dan universal. Mencakup akhlak terhadap apapun dan siapapun yang ada di sekitar kita. Termasuk akhlak terhadap lingkungan, terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya.
Dalam bertutur kata Ahsan diajarkan untuk selalu berkomunikasi dengan bahasa madura yang halus dan santun disertai dengan sikap yang lemah lembut pula. Ahsan tak pernah menggunakan bahasa madura dengan aksen kasar pada siapapun. Kelak, akhlak beliau itu tetap merupakan ciri khas tersendiri yang dimilikinya hingga wafat. Hal ini tak lepas dari ajaran yang diberikan oleh ibunda beliau dan pamannya itu yang mengajarkan akhlakul karimah dan makna iman dan taqwa pada Allah SWT.
Sebagai seorang muslim, Ahsan meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupan. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Jika keyakinan semacam ini mampu diterapkan dalam diri setiap muslim, maka akan muncul penerapan keyakinan bahwa Allah adalah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak. Akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain.
Ahsan sejak kecil telah mendapat didikan yang baik. Ahsan adalah seorang anak yang taat dan rajin menjalankan terhadap perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam setiap pekerjaan atau aktifitas kesehariannya, ia memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya. Segala sesuatu yang dia hadapi dianggapnya sebagai sebuah bentuk tanggung jawab yang tidak boleh ia hindari. Ahsan sadar betul bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT. Dalam setiap aktifitas yang dijalaninya dengan perasaan ikhlas dan ridha. Semuanya merupakan ketentuan Allah SWT.
Setiap kali melaksanakan aktifitasnya sehari-hari, Ahsan tidak pernah lupa atas kewajibannya sebagai muslim. Apabila telah tiba waktunya, maka buru-buru Ahsan segera pulang untuk melaksanakan kewajiban sholat 5 waktu. Dalam sholatnya, tidak lupa ia memohon petunjuk kepada Allah SWT atas setiap perbuatannya. Ahsan senantiasa memohon ampunan dengan bertaubat kepada Allah SWT. Ia beribadah semata-mata hanya mengharap ridla Allah. Di luar kewajibannya melaksanakan ibadah sholat, Ahsan juga seorang bocah yang rajin melantunkan bacaan Al-Qur’an di rumahnya yang sederhana.
Setelah ditinggal wafat oleh ayahandanya, praktis hanya ibundanya yang mengasuh Ahsan secara intensif. Layaknya orang tua pada umumnya, Nyai Miri mendidik Ahsan dengan kesabaran. Orang tua adalah orang yang paling dekat dengan seorang anak. Demikian juga dengan Ahsan dengan Nyai Miri; hubungan antara seorang anak dan ibu. Ahsan menaruh akhlak yang baik kepada ibundanya ini. Baginya, tidak ada sesuatu yang mampu menggantikan kebaikan ibundanya itu. Pengorbanan yang diberikan oleh seorang ibu tidak sebanding dengan penghargaan apapun yang diberikan seorang anak. Oleh karena itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari orang tua, dibalas oleh Ahsan dengan akhlak dan etika yang baik terhadap mereka.
Ahsan kecil belajar mengaji al-qur’an dan pengetahuan keagamaan di kampung halamannya. Bersama Asmawi dan teman masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kiai Syamsuddin. Pada dasarnya memang Ahsan dan Asmawi adalah anak-anak yang cerdas. Selain cerdas, keduanya juga rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar, terlebih lagi pada ilmu pengetahuan. Tak heran, keduanya selalu tercepat dalam pelajaran hafalan dan hafalannya tetap kuat diingat meski telah lama dihafalkan. Pelajaran yang disampaikan mudah sekali dicerna oleh keduanya. Sementara teman-temannya yang lain masih ketinggalan pelajaran, Ahsan dan Asmawi telah mampu menyelesaikan beberapa bagian pelajaran di depan mereka. Selalu begitu hingga menginjak remaja nanti. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.
Dari tahun ke tahun Ahsan dan Asmawi kemudian menginjak masa remaja. Masa kecil keduanya telah berlalu. Didikan dan bimbingan yang baik yang ditanamkan oleh ibunda dan pamannya merupakan bekal yang berharga untuk segera menentukan langkah di masa depan mereka. Dengan bekal rasa ingin tahu dan haus pada ilmu pengetahuan yang memang besar, bersama Asmawi mereka ingin mengembangkan wawasan dan ilmu mereka. Ketika itu Ahsan berusia 14 tahun. Setelah berpamitan pada ibunda dan kerabatnya yang lain, dengan bekal secukupnya berangkatlah Ahsan dan Asmawi, sepupu cerdasnya itu menuju ke Pondok Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara Sentong ke pondok tersebut  70 km. Ahsan dan Asmawi sudah tentu berjalan kaki. Di tahun 1857 itu, penjajah Belanda telah menancapkan kakinya di bumi pertiwi lebih dari dua abad lampau.
Ahsan dan Asmawi belajar dan mengabdi di pondok ini, pengasuhnya ialah seorang kiai bernama KH. Mohammad Tamim. Keduanya adalah santri yang tekun dan rajin di setiap kegiatan pondok. Seperti cerita di masa kecilnya dulu, Ahsan dan Asmawi masih saja selalu unggul atas teman-teman santri lainnya di pondok tersebut. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.
Keduanya hidup sederhana di pesantren itu. Jika suatu waktu mereka mendapatkan rizki, mereka tidak pernah menghambur-hamburkan rizki itu, namun ditabung. Mereka berdua mempunyai tabungan yang disimpan di kamar; ditempatkan di atas loteng. Nyatalah suatu ketika tabungan mereka tu berguna. Suatu hari, Kiai Tamim sedang meninjau keadaan bangunan-bangunan milik pesantren. Saat itu muncullah keinginan beliau untuk memperbaiki beberapa bagian bangunan pondok yang rusak. Niat itupun bulat setelah dipertimbangkan masak-masak. Kiai Tamim pun menghitung-hitung biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan. Ternyata biaya Untuk perbaikan tersebut tidak sedikit. Sedangkan kondisi keuangan Kiai Tamim masih belum mencukupi biaya tersebut. Biayanya sekitar 10 gulden.
Mengingat biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, Kiai Tamim akhirnya mengutarakan niat tersebut pada para santri beliau. Dalam penyampaiannya, beliau berharap jika ada santri yang memiliki uang sejumlah biaya tersebut, kiai hendak meminjam uang tersebut. Sang kiai pun berharap-harap cemas, namun dari sekian banyaknya santri beliau tak seorang pun yang memberikan tanggapan terhadap hal itu. Kiai Muhammad Tamim pun sedikit kecewa karena beliau tahu bahwa di antara santri-santri itu ada yang berasal dari kalangan keluarga yang mampu secara ekonomi.
Di antara para santri itu, duduk pula Ahsan dan Asmawi. Setelah Kiai Tamim menyampaikan maksud beliau dan majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar. Simpanan uang yang diletakkan di kamar mereka ambil tanpa dihitung terlebih dahulu. Lalu mereka berdua bergegas menghadap Kiai Tamim untuk menyerahkan semua uang simpanan itu. Setelah bertemu, keduanya langsung menyerahkan uang simpanan tersebut kepada Kiai Tamim dengan hati ridla dan tulus tanpa mengharap kembalinya uang itu.
Kiai Tamim merasa terharu menerima uang simpanan itu. Beliau kagum pada Ahsan dan Asmawi karena sikap mulia itu. Keduanya hidup secara sederhana dalam kesehariannya, tapi untuk tujuan yang suci, apapun yang dimiliki diberikan meski sedikit. Kiai Tamim lantas memanjatkan do`a kepada Allah SWT untuk keduanya.
Setelah merasa cukup menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan dan Asmawi menyampaikan keinginannya kepada Kiai Tamim untuk melanjutkan menuntut ilmu pondok Bangkalan Madura. Kiai Tamim dengan bangga dan terharu melepas dua orang santri cerdas itu berangkat ke madura. Semangat yang luar biasa besar dari dua orang remaja tanggung demi menuntut ilmu itu mengalahkan jarak tempuh yang luar biasa jauh. Dengan kembali berjalan kaki, kemudian menyeberangi laut, kemudian kembali berjalan kaki menuju Pondok Bangkalan Madura. Di situlah seorang ulama besar pencetak ulama besar menempa santrinya dengan ilmu pengetahuan dan wawasan kehidupan. Kurang lebih nama beliau adalah KH. Mohammad Kholil. Saat itu tahun 1860/1861.
Kiai Kholil adalah kiai yang termasyhur kealimannya. Dari beliaulah banyak tampil ulama-ulama besar di pulau Madura dan Jawa. Santri-santri beliau kemudian banyak yang mendirikan atau mengasuh pesantren-pesantren besar dan terkemuka. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa Kiai Kholil adalah seorang waliyullah.
Suatu ketika Kiai Kholil mengalami kesusahan. Beliau memanggil Ahsan. Ahsan lalu menghadap beliau, kemudian Kiai Kholil menyampaikan maksud tersebut, yaitu meminta pertolongan Ahsan agar ikut berdoa kepada Allah memohon kemudahan dalam menyelesaikan urusan yang meresahkan Kiai Kholil. Ahsan pun lantas ikut berdoa. Keesokan harinya, kesusahan Kiai Kholil tersebut dapat teratasi. Pertanyaan yang patut dikedepankan ialah mengapa Kiai Kholil memanggil Ahsan dan memintanya untuk ikut berdoa(?)
Selama berada di madura, selain berguru pada Kiai Kholil, Ahsan sempat berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan juga KH. Jazuli Madura. Sebenarnya ada guru Ahsan yang bernama Syekh Nahrowi di Sepanjang Surabaya dan Syekh Maksum dari Sentong, desa kelahiran Ahsan. Sangat disayangkan tidak ada penjelasan mengenai di mana dan kapan Ahsan berguru kepada Syekh Nahrowi. Pada referensi terdahulu atau di sumber pendukung lainnya hanya disebutkan bahwa Syekh Nahrowi adalah guru beliau, juga tidak ada yang bisa memastikan pernahkah Ahsan bermukim sementara di Surabaya untuk berguru pada Syekh Nahrowi. Tidak diketahui juga kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Maksum. Jadi persoalannya ialah kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Nahrowi dan Syekh Maksum.
Setelah tiga tahun berada di Bangkalan, suatu ketika Asmawi ingin lebih memperdalam lagi ilmunya. Dalam hati kecilnya, Asmawi selalu bertanya-tanya mengapa Ahsan selalu lebih cepat menghafal dan menangkap pelajaran daripada dirinya. Dalam pikirannya Asmawi menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui kecerdasannya oleh Asmawi. Setiap pelajaran kitab yang dipelajari, Ahsan selalu saja terlebih dahulu paham. Timbullah perasaan iri tersebut; iri pada kecerdasan seorang anak manusia. Asmawi bertekad untuk menambah ilmunya. Dia berfikir, bahwa jika dirinya berkumpul dengan Ahsan, maka dirinya akan selalu kalah pada Ahsan. Satu-satunya cara ialah menuntut ilmu di tempatnya ilmu, sedangkan Ahsan tidak pergi ke tempat itu karena masih tetap belajar di Bangkalan. Maka pastilah dirinya akan lebih mampu dan lebih pintar dibanding Ahsan. Tempat tujuan itu hanya satu dan cukup jelas di pikiran Asmawi: Makkatul Mukarromah!
Setelah segala sesuatunya selesai disiapkan, di tahun 1863 berangkatlah Asmawi sendirian menuju Makkatul Mukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji di samping akan memperdalam ilmunya. Girang benar perasaan Asmawi. Sementara di bangkalan, Ahsan melepas keberangkatan Asmawi dengan perasaan bangga memiliki saudara sepupu yang haus ilmu. Namun di hati kecilnya, saat itu muncul pula keinginan untuk menyusul saudaranya itu ke Mekkah. Namun waktu itu menyusul berangkat asmawi adalah sesuatu yang sangat sulit. Ahsan pun bermunajat pada Allah SWT memohon agar dapat menyusul saudaranya itu.
Tidak lama setelah Asmawi berangkat, Ahsan dipanggil pulang ke Sentong oleh sang ibunda. Setibanya di rumah, Ibunda menanyakan apakah Ahsan juga berminat untuk berangkat ke Mekkah atau meneruskan mondok. Jika hendak ke Mekkah, uang yang tersedia masih belum mencukupi biaya keberangkatan. Jika hendak ke Mekkah, maka Ahsan harus giat mencetak genteng dan terpaksa tidak kembali ke bangkalan untuk memenuhi biaya keberangkatan. Pilihan itu memang sulit. Ahsan pun melakukan istikharah (mohon petunjuk) kepada Allah SWT. Dari istikharah itu, Allah memberikan satu petunjuk dengan suatu kalimat yang ditampakkan pada Ahsan. Isinya adalah kalimat If`al Laa Taf`al (kerjakan dan jangan kerjakan).
Dari isyarat itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa bekerja di rumah atau tetap meneruskan mondok dan tidak bekerja adalah sama saja. Berangkat ke Mekkah guna menuntut ilmu juga akan tetap terlaksana jika Allah menghendaki. Atas kesimpulan itu, Ahsan memilih untuk meneruskan mondok saja. Akhirnya Ahsan kembali menuju ke Bangkalan.
Setibanya di Bangkalan, Ahsan langsung menghadap kepada Kiai Kholil untuk mengadukan hal tersebut sekaligus memohon doa kepada Kiai Kholil, supaya Allah segera mentaqdirkan keberangkatannya ke tanah suci dan terlaksana dengan mudah. Kiai Kholil pun mendo`akan niat dan harapan itu. Selanjutnya Ahsan kembali melakukan aktifitasnya sebagai santri.
Selang beberapa waktu kemudian, ibunda kembali menyuruh Ahsan untuk pulang lagi. Setibanya di rumah, Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah sudah cukup tersedia, meski hanya cukup untuk ongkos perjalanan saja. Biaya hidup selama di tengah perjalanan dan selama di Mekkah tidak termasuk dalam biaya tersebut. Namun karena kegigihan dan bulatnya tekad Ahsan, maka Ahsan tetap berangkat dengan biaya tersebut. Ahsan pun berpamitan pada ibundanya dan Kiai Kholil. Ahsan berangkat ke Mekkah sekitar tahun 1864.
Di Mekkah, Ahsan kembali berkumpul saudaranya, Asmawi. Asmawi gembira mendapati saudaranya juga ditakdirkan oleh Allah juga tiba untuk menuntut ilmu di Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun hati kecilnya mengatakan bahwa ia akan kembali kalah dalam menerima ilmu pengetahuan kepada Ahsan. Asmawi yang tiba lebih dulu dan telah mengetahui seluk beluk Mekkah, selang beberapa hari setelah Ahsan tiba kemudian mengajak Ahsan untuk bertamu pada salah satu temannya yang bernama Abdul Qohar. Setelah bertemu ternyata oleh Asmawi keduanya dipertemukan untuk bermujadalah (debat). Berlangsunglah mujadalah itu dan hasilnya semua persoalan mujadalah dapat diselesaikan dengan baik oleh Ahsan. Lawan debatnya mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan. Di tengah perjalanan pulang, Ahsan bertanya pada Asmawi kenapa dirinya diadu-debat. Untuk menutupi maksudnya menguji kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan itu hanyalah ajang musyawarah.
Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun perdebatan itu masih belum cukup untuk membuktikan hal tersebut. Akhirnya Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk bermujadalah. Kali ini dengan seorang keturunan Magrabi yang telah bermukim di Mekkah selama 40 tahun, dia seorang ulama yang alim di Mekkah. Ahsan yang memang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun menurut saja ketika dirinya diajak bertamu pada ulama tersebut dan tidak mengetahui maksud pertemuan itu. Seperti pertemuan dengan orang sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan mujadalah. Pertemuan yang dimulai sejak pagi setelah sholat dluha itu berlangsung jam demi jam hingga berlangsung hingga waktu sholat Dluhur, dan berjamaahlah mereka bertiga. Setelah sholat, mujadalah kembali berlangsung. Setiap pertanyaan yang dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama itu dijawab dengan baik oleh Ahsan. Dalam hatinya ulama itu mengakui kecerdasan Ahsan. Di ujung mujadalah, Ahsan hendak mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh sang ulama lawan debatnya, namun tak dapat dijawab. Serta merta ulama tersebut berkata, ”Sungguh dia adalah pemuda yang benar-benar ’alim!”
Pertemuan pun selesai setelah kedua pemuda jawa itu pamit pulang. Ahsan kembali bertanya pada kakandanya itu kenapa dirinya diadu-debat dengan orang lagi? Asmawi kemudian menyampaikan maksudnya mendebatkan Ahsan dengan beberapa orang. Ahsan kemudian meminta kakandanya itu tidak lagi mempertemukan Ahsan dengan orang-orang jika tujuannya adalah mujadalah. Demi mendengar permintaan itu, Asmawi kemudian berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.
Ahsan kemudian berguru pada beberapa orang syekh terkemuka di Mekkah di samping pada beberapa orang ulama Indonesia yang bermukim. Guru-guru mereka selama menuntut ilmu di Mekkah adalah KH. Mohammad Nawawi bin Umar Banten, KH. Marzuki Mataram, KH. Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohammad Syatho Al-Misri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syekh Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali bin Ali Al-Habsyi. Nama terakhir ini adalah guru Ahsan ketika sempat bermukim di Madinah.
Sejak tekun menuntut ilmu di Pondok-Pondok, kezuhudan dan kekhusyu`an telah terlihat dalam diri Ahsan. Selama di Pondok beliau tak pernah makan makanan selain makanan yang diperoleh dari ibunda beliau jika berada di rumah serta makanan pemberian guru beliau. Jika menanak nasi, Ahsan seringkali mencampurnya dengan pasir. Hal ini dilakukan agar pada saat makan, beliau bisa makan dengan pelan, karena di samping menyuap nasi, juga harus menyisihkan dan membuangi pasir yang bercampur dengan nasinya itu.
Sejak kecil Ahsan dan Asmawi memang mempunyai tanda-tanda bahwa keduanya memiliki keistimewaan yang akan berguna bagi masyarakat suatu saat nanti. Kelak hal itu benar-benar terbukti, masyarakat tidak lagi memanggil dua orang itu dengan nama Ahsan dan Asmawi. Masyarakat telah mengenal dua orang tokoh dan ulama besar itu dengan nama KH. Mohammad Hasan Genggong dan KH. Rofi’i Sentong.
Selama berguru sejak kecil hingga berada di Mekkah, Ahsan memiliki banyak sahabat. Selain Asmawi, banyak lagi sahabat-sahabat lainnya seperti KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng Jombang, KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon Probolinggo, KH. Syamsul Arifien Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi, KH. Sa`id Poncogati Bondowoso, Kiai Abdur Rachman Gedangan Sidoarjo, Kiai Dachlan Sukunsari Pasuruan, dan Habib Alwie Besuki.
Demikian juga dengan para Habaib. Ahsan juga banyak memiliki kedekatan seperti dengan Habib Hasyim Al-Habsyi Kraksaan, Habib Abdullah Al-Habsyi Palembang, Habib Sholeh bin Abdullah Al-Habsyi Pasuruan, Habib Hasan bin Umar Kraksaan, Habib Achmad bin Alwie Al-Habsyi Kraksaan, Habib Sholeh Al-Hamid Tanggul Jember, Habib Husain bin Hadi Al-Hamid Brani Maron, Habib Sholeh bin Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso, Habib Abu Bakar Al-Muhdlar Lumajang, dan juga Habib Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso.
KH. Mohammad Hasan wafat pada malam Kamis, jam 23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374 h/01 Juni 1955 m.
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Thorieq…

NGALAP SYAFA'AT......

Fatimah as memegang Imam Hasan as dan Imam Husein as dan membasuh kepala mereka Lalu ia bertemu Imam Ali as dan berkata:



“ Wahai Abu Hasan, jiwaku telah membisikiku bahwa tak lama lagi aku akan berpisah denganmu, Aku mempunyai wasiat yang telah kupendam dalam dadaku yang ingin aku wasiatkan padamu”
Imam Ali as menjawab: “Wasiatkanlah apa saja yang kau sukai, niscaya kau dapati aku sebagai orang yang menepati dan melaksanakan semua yang kau perintahkan padaku,Dan aku dahulukan urusanmu atas urusanku”
Sayyidatina Fatimah as mulai berkata: “Abu Hasan,engkau tidak pernah mendapatiku berdusta dan berkhianat, Dan aku tidak pernah menentangmu sejak engkau menikah denganku”
Imam Ali as menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, engkau orang yang paling baik disisi Allah, paling ‘alim dan paling takwa,Tidak wahai Fatimah, engkau begitu mulia dan tidak pernah membantahku, sungguh berat bagiku berpisah dan meninggalkanmu,Tetapi ini adalah hal yang harus terjadi. Demi Allah engkau mengulangi musibah Rasulullah saww atasku, Sungguh besar musibah kematianmu dan kepergian atasku, Kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali, Atas musibah yang sangat besar, sangat menyakitkan dan sangat menyedihkan”.

Kemudian Imam Ali as mengusap kepala Fatimah sambil menangis. Lalu Fatimah melanjutkan wasiatnya:
“ Abu Hasan, jika aku telah meninggal, Mandikanlah aku, hunuthlah tubuhku dengan sisa hunuth yang telah dipakai oleh ayahku Rasulullah saww, lalu kafanilah aku, Shalatilah aku dan jangan biarkan orang-orang yang memperlakukan aku secara kejam menghadiri jenazahku, Baik dari kalangan mereka maupun dari pengikut mereka”.
Kemudian Fatimah meneruskan: “Kuburlah aku diwaktu malam saat keheningan menyelimuti bumi dan mata terlelap dalam tidur, Dan sembunyikanlah letak kuburanku”.
Abu Hasan, aku berwasiat kepadamu agar menjaga Zainab, juga Hasan as dan Husien as, Jangan kau bentak mereka, Karena mereka akan menjadi anak-anak yatim yang penuh derita, Baru saja kemarin mereka ditinggal oleh kakek mereka Rasulullah saw, Dan hari ini mereka akan kehilangan ibu mereka, Fatimah as”.

Kemudian Imam Ali as keluar menuju mesjid. Fatimah as berdiri dan memandikan Hasan as dan Husein as, Ia mengganti pakaian Hasan as dan Husein as setelah menyiapkan makanan bagi mereka.Fatimah as berkata kepada mereka: “Keluarlah kalian dan pergilah ke Mesjid” .
sebagaimana biasa, Fatimah as menitipkan Zainab kerumah ummu Salamah. Hingga tak seorangpun dari anaknya yang ada dirumah. Asma’ binti Umais berkata bahwa ia melihat Fatimah as dan ia berkata kepadaku:
“Wahai Asma’, aku akan masuk kedalam kamarku ini untuk mengerjakan shalat-shalat sunahku, Dan membaca wirid-wiridku dan Al-Quran”.
" Bila suaraku terhenti, maka panggillah aku bila aku masih bisa menjawab, Kalau tidak, berarti aku telah menyusul ayahku Rasulullah saww”.

Asma’ berkata: “ Lalu, Fatimah as masuk ke dalam kamar”. Tatkala aku sedang asyik mendengar suaranya yang membaca Al-Qur’an, tiba-tiba suara Fatimah as berhenti. Aku memanggilnya: “Ya Zahra… ia tak menjawab, hai ibunya Hasan…iapun tak menjawab, Aku masuk kekamar dan Fatimah as telah terbentang kaku menghadap kiblat, Sambil meletakkan telapak tangannya dibawah pipi kanannya. Fatimah as menemui ajalnya.
Asma’ berkata: Aku menciuminya dan berkata kepadanya: “Wahai Tuanku/Pemimpinku”, “Sampaikan salamku kepada Ayahmu Rasulullah saw”. Saat aku dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.Hasan as dan Husein as yang masih kanak-kanak itu, pulang dari Masjid, Saat mereka masuk, Husein as yang pertama kali bertanya kepadaku:
“Asma’, dimana ibu kami Fatimah as ?”
Aku menjawab: “Kedua pemimpinku, ibu kalian sedang tidur”
Husein as berkata: “Apa yang membuat ibu kami tertidur disaat ini , saat waktu shalatnya?Tidak biasanya ia tertidur disaat ini”.
Aku berkata: “Wahai Dua Pemimpinku, duduklah hingga aku bawakan makanan untuk kalian”. Aku letakkan makanan dihadapan Hasan as dan Husein as. Mereka memanggut-manggut, kepala mereka kearah bawah.
“Sekarang… ini makanannya, duhai Hasan, Cahaya Mata, duhai Husein as”.
Husein as berkata: “Wahai Asma’, sejak kapan kami makan tanpa ditemani ibu kami Fatimah as? Setiap hari kami makan bersama Ibu kami Fatimah as, mengapa hari ini tidak?”

Perasaan Husein as tidak enak, ia berlari kekamar…Kemudian ia duduk didepan kepala Fatimah as dan menciuminya, Lalu berkata:
“ Ya....Ummah..., berbicaralah kepadaku, aku putra tercintamu…Husein, ummah....berbicaralah padaku sebelum rohku keluar dari badanku”.
Husein berteriak: “ Hai Hasan as…, semoga Allah melipat gandakan pahala padamu atas kematian Ibu kita Fatimah as”.

Imam Hasan as datang dan merangkul Ibunya dan menciuminya
Asma’ berkata : Aku masuk kamar…" Demi Allah, Husein as telah merobek-robek hatiku”. Aku melihatnya menciumi kaki ibunya Fatimah as, Dan dia berkata: “ Ummah…, Berbicaralah padaku sebelum jiwa berpisah dari badanku”.

Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun
Assalamu A'laika Ya...Rosulallah....
Assalamu' A'laiki Ya....Fatimatuhzahra....
Assalamu' Alaika Ya...AmirilMukminin....Ali bn Abi Thalib...
Assalamu A'laika Ya...Hasan Almujtaba...
Assalamu A'laika Ya....Aba Abdillah....
Syafaatmu kami butuhkan, disaat nanti ditempat tiada yang dapat menolong, kecuali pandangan mata kasih sayangmu, jangan kau palingkan wajahmu pada kami kelak....,
amin,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Selasa, 10 Desember 2013

#KOPI PAIT MENEMUI KEKASIH#

Aroma di seperempat malam sangat lekat menggugurkan ribuan pasang mata,
di mana sepasang mata masih menjarah suasana sunyi,
beteman dengan kepahitan kopi hitam yang kental,
berhayal merasuki jiwa terisi secangkir ruh biji kopi,
tik tok tik tok jam tak di hiraukan,
bibir melantunkan syair2 yg tak jelas, membuka imajinasi liarnya,
kesendirianku tak berarti,bertemankan kopi pait aku mnemukan jalan dimana sedang tersesat,
mencoba terfokus pada sang kekasih,waktu terus membuntutiku,berlari dan berlari itu yang ada di benak,
ooo.... kopi paitku di saat itu ku terperangkap dalam buaian sang kekasih,
sruputan terakhir kopi paitku menghantarkanku pada sang kekasih yang sejati,
kumandang adzan subuh mengakhiri perjalananku menemukan sang kekasih di fajar shodiq. #zonakopi